Hujan begitu lebat dari mulai siang
hingga malam tiba. Suasan kota tua berubah menjadi dingin, tidak biasanya.
Jalan-jalan menjadi sepi, orang-orang mungkin malas keluar rumah. Hanya ada
sedikit kendaraan saja yang lewat. Para pedagang makanan di pinggir jalan hanya
bisa duduk menunggu pelanggan. Padahal jam sudah menunjukan waktunya makan
malam. Biasanya mereka sudah di kerubungi pelanggan yang kelaparan. Sekarang
satu pelanggan saja belum ada yang mampir.
Mardi tukang nasi goreng hanya bisa
memutar radio dengan chanel dangdut favoritnya. Sesekali dia ikut bernyanyi
sambil bergoyang menunggu para pelanggan datang. Mardi memang selalu ceria
meskipun nasi gorengnya sepi pembeli. Para pedagang yang lainnya merasa
terhibur kalau ada Mardi. Dia merupakan pedagang yang pertama manggkal di
tempat ini. Kalau ada pedagang baru yang mau ikut mangkal di sana, dia tidak
pernah keberatan. Kadang kalau ada pedagang baru, dia suka membimbingnya cara
berjualan. Mardi juga tidak pernah merasa tersaingi kalau dagangan orang baru
laku berat. Dia selalu percaya kalau rezeki itu sudah ada yang mengatur.
Suara gemericik air genangngan hujan
yang terinjak kaki terdengar menembus sepi. Seorang pemuda berlari dari
seberang jalan menuju gerobak nasi goreng Mardi. Jaket dan tas gendong yang ada
di punggunya basah terkena air hujan. Dengan nafas yang masih terengah-engah,
dia langsung memesan nasi goreng satu porsi untuk di makan disana. Pemuda itu
duduk di kursi panjang menghadap ke gerobak nasi goreng. Jaketnya yang basah
dia simpan di atas kursi panjang sebelah kiri. Sedangkan tasnya di taruh di
atas meja sebelah kanan. Pemuda itu meminum segelas air teh hangat yang sudah siap
diatas meja.
Nasi goreng pemuda itu sudah selesai
dibuatkan oleh Mardi. Di sajikan di dalam sebuah piring dengan telur dahdar
diatasnya. Kerupuknya di simpan dengan piring yang berbeda. Semuanya berada di
atas meja depan pemuda itu. Karena tidak ada lagi pembeli, Mardi duduk di kursi
panjang depan pemuda itu. Dia basabasi menayakan rasa nasi gorengnya terhadap
pemuda itu.
“Gimana rasa nasi gorengnya? Ada yang
kurang?”
“Cukup Pak, cuman porsinya banyak
sekali”
“Biar kenyang, Adek kayanya
tinggalnya bukan daerah sini yah?”
“Iya Pak, Kebetulan tadi habis main
dari Apuy”
“Pantas, baru liat dek”
Sambil makan nasi goreng, pemuda itu
mengajak Mardi mengobrol. Dia mempertanyakan kenapa bisa sepi pembeli terhadap
Mardi. Padahal daerah mangkal Mardi berdekatan dengan indekosan mahasiswa dan
karyawan. Mardi menjelaskan kenapa malam ini pelangganya tidak pada datang.
Kota Tua beberapa bulan sekarang
memang lagi rajin-rajinnya melakukan penggusuran. Awalnya mulai dari blok
Kolase dengan alasan mengganggu aliran sungai. Padahal rumah mereka tidak sama
sekali mengganggu aliran sungai. Beberapa komunitas sudah berusaha melakukan
kegiatan kampaye untuk mempertahankan blok Kolase. Namun pemerintah tidak
mendengar sama sekali. Penggusuran pun terjadi, warga dialokasikan ke rumah
susun sadang serang.
Warga bantaran sungai Cidurian juga
mengalami penggusuran. Alasannya hampir sama yaitu untuk menormalisasikan
sungai Cidurian. Padahal warga disana sudah membuatkan solusi supaya tidak ada
penggusuran. Mereka rencananya akan membuat perkeampungan deret. Namun dengan
alasan tanah sengketa, solusi warga tidak di tanggapi. Persidangan tanah
sengketa Cidurian dilakukan. Seharusnya selama belum terjadi keputusan sidang
sengketa tanah itu, penggusuran tidak boleh dilakukan. Namun beda dengan
pandangan pemerintah, sidang sengketa belum selesai penggusuran secara paksa
dilakukan. Warga Cidurian tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Hanya bisa melihat
rumahnya yang sudah rata dengan tanah.
Penggusuran terbaru terjadi minggu
kemarin. Para pedagang yang ada di pinggir jalan menjadi sasarannya sekarang.
Alasanya menggagu ketertiban umum dan merusak keindahan kota. Penggusura
terjadi diberbagai tempat mulai dari jalan Dewi Sartika, Dalem Kaum,
Purnawarman, Taman Sari sampai Stasiun Barat. Para pedagang tidak bisa berbuat
apa-apa lagi. Karena pemerintah mengerahkan semua aparatnya untuk menghancurkan
atau membawa gerobak para pedagang. Setelah semuanya rata, pemerintah langsung
memasang plang zona merah. Yaitu zona dilarang keras berjualan di tempat itu.
Apabila ada yang jualan akan di tidak tegas dengan denda dan hukuman. Begitu
juga dengan pembeli di zona merah, bila ketahuan akan di denda dan dihukum
juga.
Tidak lama setelah pemuda itu selesai
makan dari arah atas terdengar suara sirine mobil. Pedagang sudah mulai ada
yang panik dan beres-beres. Sedangkan pemuda itu malah asik menghisap sebatang
rokok. Mardi tidak terlihat panik sedikit pun, dia hanya membereskan piring
bekas makan pemuda itu. Sirine mobil itu berhenti di depan gerobak Mardi. Para
Aparat turun dari mobil itu untuk menggusur para pedagang yang berada di zona
merah itu. Mardi dan pemuda itu malah duduk asik berhadap-hadapan sambil
merokok. Mereka seperti tidak memperdulikan apa yang terjadi. Mesti tenda
tempat mereka di bongkar secara paksa dan gerobak Mardi sudah diangkut sama
aparat. Mereka tetap duduk berhadap-hadapan di kursi panjang itu. Aparat
membrogol mereka secara paksa dan membawanya ke kantornya untuk di intrograsi.
Mardi dan pemuda itu hanya terseyum menghadapi para aparat.