Kota Puruk Cahu di pagi hari sangat
berbeda dengan sewaktu aku berada di Bandung. Di sini matahari pagi terasa
sudah mulai meninggi padahal masih jam 6 pagi. Mungkin ini gara-gara waktunya
lebih cepat satu jam di banding berada di Bandung. Kami sekitar tiga orang akan
melakukan perjalanan menuju sungai Bura yang berada di hulu sungai Barito. Kami
beristirahat satu hari di kota Puruk Cahu setelah melakukan perjalanan dari
kota Banjarmasin selama kurang lebih 12 jam “cukup melelahkan memang, pantat
pun terasa tepos kalau kelamaan duduk”. Kami pun disempatkan untuk
berjalan-jalan melihat sekitar kota Puruk Cahu yang tidak begitu besar, dengan
satu jam memakai sepeda motor kita pun sudah selesai mengelilingi kotanya.
Memang terasa berbeda suasana di kota
Puruk Cahu, meskipun masih di Negara yang sama tapi ke senjangan pembangunan
terasa sekali. Mulai dari segi pembangunan sampai segi pendidikan dibandingkan
dengan di pulau Jawa masih tertinggal. Tapi dari segi pendapatan daerah, di
sini mungkin akan lebih besar di bandingkan dengan rata-rata di pulau Jawa.
Terutama pendapatan terbesar di kota Puruk Cahu yaitu dari bidang pertambangan,
perkebunan dan penebangan kayu (logging).
Penadapatan orang di Puruk Cahu pun akan lebih besar di bandingkan dengan di
pulau Jawa, tapi semua itu sebanding dengan pengeluarannya. Karena kebutuhan
rumah tangga di Puruk Cahu hampir sebagian besar masih di kirim dari pulau Jawa,
menyebabkan harga barang pun akan lebih mahal. Ini disebabkan oleh biaya
transportasi pengiriman barang yang mahal juga.
Kami bertiga Rico, Aji dan Akmal
sudah membuat janji sama supir yang mau mengantar kami menuju sungai Bura
dengan rencana mengunakan mobil double cabin.
Esok paginya kami pun di jemput oleh Pak supir sekitar jam 08.30 pagi di
tempat menginap kami. Semua barang kami di susun dengan rapi sama Pak supir di
bak belakang mobil, dari mulai tas-tas baju, pelampung, tenda dan persedian
makanan buat selama di sana, kira-kira kami di sana sekitar satu minggu.
Kami pun segera berangkat
meninggalkan kota Puruk Cahu menuju sungai Bura. Arah ke sungai Bura adalah
sebelah timur laut dari kota Puruk Cahu. Pak supir pun mulai menjalankan
mobilnya mengarah ke jalan kota Banjarmasin, setelah sekitar kurang lebih 5 km
dari arah kota, mobil pun di belokan ke arah kiri menuju Desa Tuhup dengan
kondisi jalan masih bebatu dan sebagian lagi masih tanah. Menuju Desa Tuhup
dari kota Puruk Cahu kita akan memakan waktu sekitar 1 jam 50 menit.
Tiba-tiba kami kanget belum sampai ke
Desa Tuhup jalan sudah butuh di hadapan mobil kami sudah ada sungai “pikir
kami, mungkin kita salah jalan” kami bertiga pun sempat kebingungan. Dengan
nada santai pak Supir pun bilang ke kami “tunggu dulu yah mas, saya manggil
dulu feri yang mau sebrangin mobil ini ke Tuhup” kami pun lega ternyata tidak
salah jalan. Ternyata buat ke sungai Bura harus menyebrangkan mobil dulu sungai
Barito yang cukup lebar. Feri buat menyebrangkan mobil pun sudah datang,
ternyata ferinya hanya terbuat dari kayu. Bentuknya mirip perahu kayu besar
yang bisa memuat satu mobil dan beberapa
motor dengan ukuran kira-kira panjangnya 6 meter dan lebar 3 meter bermesinkan
diesel “dongfeng”.
Setelah tiba di seberang sungai
Barito dengan memakan waktu penyebrangan sekitar 10 menit, kami pun menuju
warung makan yang ada di Desa Tuhup untuk istirahat makan sekitar 1 jam lebih. Warung
makan satu-satunya mungkin di Tuhup, dengan bangunan terbuat dari papan kayu
yang bagus. Mungkin kalau di kota membuat bangunan dari kayu seperti ini bisa
mahal sekali, beda dengan disini bahan baku banyak jadi bangunan dari kayu bisa
lebih murah di bandingkan dengan bangunan semen.
Desa Tuhup berada di pinggiran sungai
Barito yang merupakan tempat dermaga perusahan tambang batubara dan perusahan
logging kayu. Meski pun banyak perusahan di dekat daerah Tuhup tapi
kesejahteraan penduduk sekitarnya masih kurang di perhatikan. Listrik pun belum
bisa sampai ke seberang Desa Tuhup, penduduk di sana masih mengunakan genset
buat menerangi rumahnya pada waktu malam hari saja.
Kami pun melanjutkan perjalananan menuju
Sungai Bura dengan cuaca sedikit hujan dengan kondisi jalan masih tanah. Jalan
yang kami pakai adalah jalan yang di buat oleh perusahan tambang dan logging
kayu khusus untuk pekerjaan perusahan mereka. Tapi masyarakat sekitar suka
memakai jalan tersebut buat sehari-hari karena hanya satu jalan itu saja yang
ada menuju kota untuk membeli kebutuhan hidup. Jalan pun relatife bagus
meskipun masih tanah tapi tidak ada bolong-bolong kaya dikota besar. Mungkin karena
perawatan jalannya dilakukan setiap hari oleh perusahan-perusahan tersebut
untuk dapat memenuhi hasil yang maksimal.
Kata pak Supir perusahan tambang
tersebut bekerja hampir 24 jam dan hanya
benar-benar tidak ada kegiatan sekitar 2 jam dari jam 5 pagi sampai jam 7 pagi.
“benar-benar mengeruk habis sumber
daya alam kita ini” kata Aji
“Betul ji, pasti yang punya perusahan
asing” kata Akmal
Tiba-tiba pak Supir pun ikut ngobrol
“benar mas, yang punya asing, udah gitu pelitnya minta ampun, disuruh membuat
jalan buat kerumah masyarakat di sekitar sini, udah 2 tahun hanya sekedar janji
aja mas, hadeuuhhh…”
“dari pihak pemerintah gimana pak?”
kata Rico
“Yah sama-sama tahu aja mas, kalau
udah dapat uang mereka tidak akan banyak omong lagi, apalagi mikirin orang
kecil seperti saya ini mas” kata Pak Supir
Perjalan pun terus berlanjut,
diperjalanan sering berpapasan dengan
mobil tambang yang besar-besar hampir sebesar rumah tipe RSSS (rumah sangat
sederhana sekali). Sesekali kami pun melewati mes tempat karyawan tinggal dengan fasilitas cukup lengkap seperti ada
kota di tengah hutan. Berbeda dengan Desa Tuhup yang dekat dengan perusahan
tambang yang serba kekurangan. Kesenjangan sosial selalu ada baik kota maupun
di tenggah hutan sekali pun. Semua ini di akibatkan oleh pemilik modal yang
terlalu berkuasa seperti raja memerintah seenaknya, terhadap pemerintah sekali
pun.
Tak lama mobil kami pun meninggalkan
jalan yang dibuat oleh perusahan tambang. Sekarang kami berada di jalan yang di
buat perusahan kayu logging, jalannya lebih kecil dengan kurang terawat. Jalan
perusahan kayu logging ini memang kurang terawat karena tidak setiap hari
mereka menganggkut kayu-kayu ke dermaga yang ada di Desa Tuhup.
Di kawasan jalan perusahan kayu pak
Supir lebih berhati-hati membawa kendaraan, karena aturan lalu lintasnya berbeda.
Di jalan ini kendaraan yang memuat kayu ke dermaga lebih di utamakan, mau tidak
mau kendaraan yang kecil atau kosong harus berhenti mengalah kepinggir dulu.
Apalagi supir kendaraan pembawa kayu lebih gila cara bawa mobilnya
seenak-enaknya dia saja merasa jalan punya sendiri saja. Juga di tunjang dengan
jalan yang berliku dan tanjakan-tanjakan tinggi dan panjang. Kalau bukan supir
yang tahu jalan ini bisa berbahaya, bisa-bisa terjun kejurang kalau baru
pertama lewat jalan ini.
kendaraan kami pun sempat berhenti
sejenak karena mesinnya tiba-tiba overhit,
untung saja kendaraan kami sudah melewati tanjakan kalau tidak bisa mundur
lagi. Kami bertiga pun sudah cemas tidak bisa melanjutkan perjalanan, ditambah
masih berada di tengah hutan yang jauh dari mana-mana, sudah malam pula. Pak
Supir pun suruh kita keluar dulu buat istirahat meluruskan kaki karena sudah 6
jam kami duduk di mobil.
“mas-mas keluar dulu, untung ada
bulan mas jadi masih keliatan terang mesti di tengah hutan juga”
“terang sih terang Pak, tetep aja
kita di tengah hutan” kata Aji sambil muka kesel
“Pak, emang tadi di Puruk cahu tidak
di servise dulu mobilnya” kata Rico nanya baik-baik ke Pak Supir
Jawab Pak Supir sambil senyum malu
“maaf mas, lupa tidak sempat servis”
“aduh…pantesan Pak..pak…” kata Aji
makin kesel
“sudahlah…nikmati aja lumayan bisa
foto-foto buat di facebook, bintangnya juga lagi bagus tuh” sambil merayu Aji
biar tidak kesel lagi kata Akmal
Kami hampir 1 jam beristirahat sambil foto-foto
menunggu kondisi mobilnya normal lagi. Lalu kami meneruskan perjalanan yang
hampir kurang lebih 3 jam lagi sampai ke pinggir hulu sungai Barito. Kami pun
tak terasa tiba-tiba sudah sampai di pinggir hulu sungai Barito, tidak terlihat
ada sungai yang kelihatan cuman lampu minyak dari sebuah gubuk tua karena bulan
malam sudah tertutup awan. Kami pun segera ke gubuk tua yang di huni oleh
sepasang suami istri untuk beristirahat, karena besok pagi melanjutkan
perjalanan untuk menyusuri sungai Bura.
Udara masih terasa segar, terdengar
suara air hulu sungai Barito yang mengalir deras dengan sesekali terdengar
suara burung-burung merkicau rusuh membangunkan kami bertiga yang berada
digubuk tua. Sepasang suami istri penghuni gubuk tua ternyata sudah bangun
terlebih dahulu dan sudah menyiapkan kopi di tekok besar dengan rebusan ubi
kayu masih hangat. Pak Supir udah berada di halaman gubuk tua dengan segelas
kopi, sambil berjemur menghangatkan tubuh sambil menghisap rokok kretek yang
beraroma cengkeh.
Kami bertiga pun segera bangun dan
langsung menuju pinggir hulu sungai Barito untuk mencuci muka. Ternyata hulu
sungai Barito masih besar dan airnya masih cukup bersih, di pinggir sungai
masih terdapat pohon-pohon besar yang menjurai kearah sungai. Namun kalau lagi
musim hujan airnya berubah menjadi coklat dan arusnya pun cukup besar.
Kami pun segera kembali ke gubuk tua
karena pemilik gubuk tua sudah menyipakan sarapan buat kami. Setelah selesai
sarapan kami pun bersiap-siap mengemas semua perlengkapan, karena sebentar lagi
akan di jemput oleh 2 orang warga dari Desa Tujang. Desa Tujang merupakan Desa
yang paling terdekat ke sungai Bura, kira-kira dapat di temput perjalanan 3 jam
dari Desa Tujang sampai ke gubuk tua dengan mengunakan perahu bermotor. Kami di
jemput sama 1 perahu cukup besar dengan daya tampung kira-kira cukup 8 orang.
Kami pun siap-siap bergegas untuk
menelusuri sungai Bura yang konon katanya eksotis. Barang-barang kami segera di
pindahkan kedalam perahu, ada yang didepan sebagian dan sebagian lagi
dibelakang dekat pengemudi perahu. Perahu yang kami tumpangi ini terbuat dari
susunan kayu-kayu khusus dengan memakai mesin motor pengerak 4 tak.
Perahu sudah dinyalakan kami pun
segera turun ke perahu dengan melewati dermaga yang terbuat dari 4 potongan
kayu besar yang di ikat oleh tali dari rotan. Kebetulan sekali arus sungainya
pun cukup bersahabat untuk kita telusuri, warna airnya pun tidak coklat. Kami
pun segera melaju untuk mengikuti arus hulu sungai Barito yang menuju ke hilir
sungai. Baru setelah menemukan muara pertemuan antara hulu sungai Barito dan
sungai Bura kami akan mulai melawan arus sungai.
Muara sungai Bura pun sudah mulai
keliatan, gas perahu mulai dibesarkan karena akan melawan arus. Setelah
memasuki sungai Bura suasana sungainya pun agak berbeda, ukuran sungainya yang
lebih kecil dengan air sungai yang lebih bening dan kedalaman sungai lebih
dangkal dibanding dengan hulu sungai Barito.
Pohon-pohon di pinggir sungai Bura
masih besar-besar serta menjuntai ke tengah sungai . Menyebabkan saling bertemu
antara pohon dipinggir kanan sungai sama yang berada di pinggir kiri sungai. Seperti
saling terikat untuk melindungi perahu-perahu yang melewati sungai Bura dari
teriknya matahari. Makin ke hulu sungai Bura banyak sekali pemandangan yang
menarik, seperti bunga-bunga yang berwarna warni yang mekar di pohon pinggir
sungai. Indah sekali tak kalah sama bunga sakura musim semi yang berada di
Jepang. Sekali-kali ada babi hutan yang menyeberang sungai bersama anak-anaknya
menuju pinggir sungai yang satunya lagi umtuk mencari makan. Burung-burung
kecil pun berterbangan di depan perahu kami sambil bercanda-canda sesama burung
lainnya.
Tidak terasa kami sudah cukup jauh
dari muara sungai dan akan segera tiba di tempat istirahat yang telah di
siapkan oleh kedua orang dari Desa Tujang. Tapi sebelum sampai ketempat
istirahat perahu kami harus melewati jeram sungai yang cukup memacu adrenalin.
Tangan kami pun siap-siap berpengangan keras ke sisi kiri dan kanan perahu agar
tidak terjatuh. Perahu kami pun berhasil menembus jeram sungai Bura yang cukup
besar itu. Sebagian badan dan barang-barang kita basah terkena cipratan air
dari perahu. Jeram sungai Burai selesai di lewati dan dermaga tempat istirahat
kami pun sudah terlihat. Dermaga yang dibuat sederhana dengan dua kayu besar
disatukan di ikat dengan rotan. Perahu kami pun siap menepi di dermaga itu dan
istirahat untuk beberapa malam.
Tempat istirahat kami terbuat dari
beberapa kayu yang di susun seperti kerangka rumah panggung. Atapnya
menggunakan terepal yang berukurun 3 meter x 6 meter dengan tempat tidur
terbuat dari dua karung beras yang disatukan dan ditahan oleh batang kayu diikat
di kedua ujung kerangka seperti palbad yang di pakai oleh tentara cuman ini
terbuat dari karung beras dan batang kayu. Kami bertiga pun segera beristirahat
dan menikmati kesepian hutan di pinggir sungai Bura dengan alunan musik suara
burung dan kumbang untuk dapat merasakan ketenangan agar mencapai kebahagian
yang orang kota dambakan.